MAKALAH
MEMBINA MORAL DAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
Etika
Profesionaliosme dan Pendidikan
Dosen : DR
Syamsudin
Disusun oleh
Titi romelah
Eti wahyuni
Abdul haris
Hasanuddin
Yusuf salmon
Mamik mikdad
Wahju Poerwanto
Program Pasca Sarjana
STIMA IMMI – Kampus Buahati
MAKALAH
MEMBINA MORAL
DAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN
KATA
PENGANTAR
Keluarga
dan sekolah seharusnya menjadi lembaga pendidikan yang terdepan di dalam
pembinaan moral dan akhlak anak atau peserta didik. Makalah ini akan mencoba membahas
tentang bagaimana seharusnya keluarga dan sekolah dapat melakukan tugas yang
berat ini dengan baik.
Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen dan rekan-rekan yang telah memberikan
motivasi dan membantu penyusunan makalah ini. Kami menghargai semua saran dan
kritik membangun guna perbaikan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Betapa memprihatinkan wajah Indonesia yang
hampir setiap hari disajikan televisi melalui siaran berita, seperti kasus
pemerkosaan, tawuran dan tindakan-tindakan kriminal lainnya yang seringkali
menyebabkan jatuhnya korban, baik itu korban luka-luka hingga korban berujung
kematian. Yang lebih memprihatinkan dan mengecewakan dari semua itu adalah usia
sebagian dari para pelakunya yang masih berstatus pelajar. Bahkan banyak
diantara mereka masih duduk di bangku sekolah dasar atau SMP. Tentunya terbersit
banyak pertanyaan dalam benak kita “Ada apa dengan bangsa ini?” marilah kita
sebagai orang tua dan guru yang hakikatnya sama-sama berperan sebagai pendidik
untuk merenungkan sejenak masalah ini hingga akhirnya tumbuh kepedulian untuk
merubah wajah anak negeri.
Salah satu problem yang mendasar dalam
pendidikan adalah terkait dengan pendidikan moral dan akhlak. Minimnya
pengetahuan masyarakat terhadap pendidikan moral dan akhlak akan semakin
memperburuk kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh karena itu perlu
dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi ini.
Setiap anak sebelum ia mengalami proses
pendidikan di sekolah, sejatinya mereka berasal dari rumah tempat mereka
menjalani kehidupan sehari-harinya bersama keluarga. Karena itu orang tualah
yang memegang peranan yang sangat penting dalam hal pendidikan anak. Walaupun
ada beberapa kondisi yang menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan pendidikan
dari orang tuanya, seperti anak yatim piatu semenjak lahir, anak yang dibuang
oleh orang tuanya, dll. Tetapi pada kondisi normal, orang tua merupakan
pendidik anak yang pertama dan utama. Bahkan dalam Al-qur’an serta sunnah
banyak sekali ditegaskan tentang pentingnya mendidik anak bagi para orang tua.
Anak yang terdidik dengan baik oleh orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang
pandai menjaga dirinya dari pengaruh buruk lingkungan, karena ia telah dibekali
oleh ilmu tentang hidup dan kehidupan yang didalamnya terdapat ilmu yang paling
bermanfaat yaitu ilmu agama.
Bagaimana pula dengan pendidikan formal melalui lembaga-lembaga
pendidikan atau sekolah? Apa yang terjadi dengan sekolah-sekolah kita ini?
Mengapa banyak pelajar dan generasi muda lainnya yang terlibat dalam berbagai
tindak kriminal? Tentunya kita semua merasa prihatin bahwa ternyata
sekolah-sekolah kita belum mampu menjalankan peran utamanya yaitu memberikan
pendidikan karakter sehingga melahirkan manusia-manusia yang berakhlak terpuji.
Semua hal di atas menjadi latar belakang
permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa
pengertian moral dan akhlak? Apa pula perbedaan moral dan akhlak?
b. Mengapa
dan bagaimana seharusnya keluarga membina/mendidik moral dan akhlak
anggota-anggotanya?
c. Bagaimana
seharusnya pembinaan/pendidikan moral dan akhlak peserta didik dilakukan di
sekolah-sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
moral dan akhlak
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang
berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang
diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi
standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.
Akhlak berasal dari kata “khuluq” yang artinya perang
atau tabiat. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dapat didefinisikan bahwa akhlak adalah
daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah, spontan tanpa
dipikirkan dan direnungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah
sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan yang diwujudkan dalam tingkah
laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama,
maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah
(akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan
sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul
mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya.
Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan
Sunnah Rasul
2.1.1. Perbedaan antara akhlak dan moral
Perbedaan antara akhlak dan moral dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran
baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral berdasarkan adat istiadat atau
kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu
perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Dengan demikian standar nilai moral bersifat
lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi.
Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa
seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan
seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari.
Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :“ Aku
hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada
dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh
dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan
lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang
tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.
2.1.2. Akhlak
kepada Allah, Sesama manusia, dan Lingkungan
Akhlak kepada Allah
·
Beribadah
kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai
dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap
perintah Allah.
·
Berzikir
kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik
diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan
ketenangan dan ketentraman hati.
·
Berdo’a
kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah,
karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia,
sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan
do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan
akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas
hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap
muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima
keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang
sombong ; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
·
Tawakal
kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil
pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
·
Tawaduk
kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah
dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau
hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih
dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.
Akhlak kepada sesama manusia
a. Akhlak
kepada diri sendiri
·
Sabar,
yaitu prilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari
pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya.Sabar
diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika ditimpa
musibah.
·
Syukur,
yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa
terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan.
Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan
syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat
Allah sesuai dengan aturan-Nya.
·
Tawaduk,
yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua,
muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan
dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan
orang lain
.
b. Akhlak kepada ibu bapak
Akhlak
kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan
perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan
antara lain : menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih
dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, mentaati perintah,
meringankan beban, serta menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi
berusaha.
c. Akhlak kepada keluarga
Akhlak
terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang diantara anggota keluarga
yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi.
Komunikasi
yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh
anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang tua
dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan
lahir kepercayaan orang tua kepada anak. Oleh karena itu kasih sayang harus
menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluarga.
Dari
komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin, keakraban,
dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di
antara mereka. Dengan demikian rumah bukan hanya menjadi tempat menginap,
tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal yang damai dan menyenangkan, menjadi
surga bagi penghuninya. Melalui komunikasi seperti itu pula dilakukan pendidikan
dalam keluarga, yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai
landasan bagi pendidikan yang akan mereka terima pada masa-masa selanjutnya.
d. Akhlak kepada lingkungan
Perkataan
akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab akhlaq, bentuk jamak
kata khuluq atau al-khuluq, yang secara etimologis berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku, atau tabi’at. Dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga
sikap yang melahirkan baik maupun buruk.
Selama
ini, masalah akhlak ini hanya sering terfokus terhadap hubungan antar manusia
saja. Padahal, akhlak terhadap lingkungan juga sangatlah penting. Kita lihat
sekarang ini banyak sekali tingkah laku manusia yang tidak mempedulikan
lingkungan sekitarnya, misalnya dengan menggunduli hutan, mengubah area resapan
air menjadi area pemukiman, membuang sampah sembarangan, dan lain-lain yang mengakibatkan
pemanasan global, banjir, tanah longsor dan berbagai macam bencana alam
lainnya.
Saat ini, kondisi lingkungan alam sudah
sangat kritis. Namun, setidaknya saat ini sudah mulai bermunculan aksi-aksi peduli lingkungan, baik yang
dilakukan perorangan maupun kelompok masyarakat.
Setidaknya, dengan
berbagai peringatan dari Allah, manusia di muka bumi telah mulai sadar dan
lebih memperhatikan lingkungan hidupnya lagi. Karena pada awalnya, manusia
diciptakan oleh Allah tujuannya adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi,
yang tentunya juga harus dapat melestarikan bumi ini. Memang suatu saat nanti
kiamat akan terjadi. Namun jika manusia terus bersikap merusak lingkungan,
tentunya kiamat itu akan terjadi lebih cepat karena ulah manusia itu sendiri. Sebagai umat islam kita harus dapat
melestarikan lingkungan alam
dan menjadi contoh bagi umat-umat yang lain karena kita memahami perintah-perintah
dan larangan-larangan Allah.
Jadi
intinya adalah kita sebagai
manusia harus menyadari bahwa kita
berkewajiban untuk menjaga,
memelihara dan memanfaatkan bumi dan segala yang ada di dalamnya dengan baik yang
sengaja diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia.
2.2.
Peranan Keluarga dalam Pembinaan
Moral dan Akhlak
Keluarga sebagai unit sosial
terkecil dalam masyarakat (Muchtar, 2005: 43) mempunyai peranan yang sangat
besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perilaku anak. Kedudukan dan fungsi
keluarga dalam kehidupan manusia bersifat fundamental karena pada hakekatnya
keluarga merupakan wadah pembentukan watak dan akhlak.
Tempat perkembangan awal seorang
anak sejak dilahirkan sampai proses pertumbuhan dan perkembangannya baik
jasmani maupun rohani adalah lingkungan keluarga, oleh karena itu di dalam
keluargalah dimulainya pembinaan nilai-nilai akhlak karimah ditanamkan bagi
semua anggota keluarga.
Peran dan tanggung jawab orang tua
mendidik anak dalam keluarga sangat dominan sebab di tangan orang tuanyalah
baik dan buruknya akhlak anak. Pendidikan dan pembinaan akhlak merupakan hal
paling penting dan sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menjaga
stabilitas hidup. Dalam ajaran agama Islam masalah akhlak mendapat perhatian
yang sangat besar sebagaimana sabda Nabi:
اَÙƒْÙ…َÙ„ُ الْÙ…ُؤْمنيْÙ†َ ايْماَناً اَØْسَÙ†ُÙ‡ُÙ…ْ Ø®ُÙ„ُقاً..........
”Orang mukmin yang paling
sempurnanya imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya” HR.
Tirmidzi (Nawawi, 1999: 583).
Mengingat masalah akhlak adalah
masalah yang penting seperti sabda Nabi di atas, maka dalam mendidik dan
membina akhlak anak orang tua dituntut untuk dapat berperan aktif. Peranan
orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai
akhlak karimah terhadap anak yang bersumber dari ajaran agama Islam sangat
penting dilakukan agar anak dapat menghiasi hidupnya dengan akhlak yang baik
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan norma agama, norma
hukum dan norma kesusilaan.
Dewasa ini dengan terjadinya
perkembangan global di segala bidang kehidupan selain mengindikasikan kemajuan
umat manusia disatu pihak, juga mengindikasikan kemunduran akhlak di pihak
lain. Kemajuan kebudayaan melalui pengembangan IPTEK oleh manusia yang tidak
seimbang dengan kemajuan moral akhlak, telah memunculkan gejala baru berupa
krisis akhlak.
Pendidikan akhlak merupakan salah
satu bagian pendidikan dalam Islam yang sangat diperlukan agar anak memiliki
akhlak yang baik. Akhlak yang baik dari seorang anak akan melahirkan generasi
yang baik pula, yaitu generasi muda yang taat kepada Allah, berbakti kepada
orang tua dan memperhatikan hak-hak bagi saudara muslim yang lain.
Dalam pendidikan dan pembinaan
akhlak anak, orang tua harus dapat berperan sebagai pembimbing spiritual yang
mampu mengarahkan dan memberikan contoh tauladan, menuntun, mengarahkan dan
memperhatikan akhlak anak sehingga anak berada pada jalan yang baik dan benar.
Jika anak melakukan kesalahan, maka orang tua dengan arif dan bijaksana
membetulkannya, begitu juga sebaliknya jika anak melakukan suatu perbuatan yang
terpuji maka orang tua wajib memberikan dorongan dengan perkataan atau pujian
maupun dengan hadiah berbentuk benda.
Peranan keluarga sangat besar dalam
membina akhlak anak dan mengantarkan kearah kematangan dan kedewasaan, sehingga
anak dapat mengendalikan dirinya, menyelesaikan persoalannya dan menghadapi
tantangan hidupnya. Seperti dalam firman Allah SWT:
”Wahai orang-orang yang beriman!
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak
durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim : 6).
Orang tua merupakan pembina pertama
bagi perkembangan dan pembentukan pribadi anak. Keluarga merupakan tempat
penanaman utama dasar-dasar moral bagi anak, yang biasanya tercermin dalam
sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh oleh anak
(Hasbullah, 2008: 42).
2.2.1.
Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan kelompok individu
yang ada hubungan, hidup bersama dan bekerjasama di dalam suatu unit. Kehidupan
dalam kelompok tersebut bukan secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan
darah atau perkawinan. Selain itu, keluarga juga dapat diartikan sebagai
kelompok sistem yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan
darah, perkawinan atau adopsi. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nuclear
family) yang terdiri ayah, ibu dan anak-anak (http://paudgrobogan.wordpress.com).
Ditinjau dari sudut pandang
pedagogis, ciri khas suatu keluarga ialah bahwa keluarga itu merupakan
persekutuan hidup yang dijalani rasa kasih
sayang diantara dua jenis manusia, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan
diri, terkandung juga kedudukan dan fungsi sebagai orang tua (Sadulloh, 2010 :
187).
Menurut Muchtar ( 2005 : 43)
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Baik tidaknya masyarakat
ditentukan oleh baik tidaknya keadaan keluarga umumnya pada masyarakat
tersebut. Oleh karena itu apabila kita menghendaki terwujudnya masyarakat yang
baik, tertib dan diridhoi Allah, mulailah dari keluarga.
Mansur (2009: 318) berpendapat bahwa
keluarga adalah suatu ikatan laki-laki dengan perempuan berdasarkan hukum
undang-undang perkawinan yang sah.
Kesimpulan dari beberapa pengertian
keluarga di atas, yaitu keluarga adalah sekelompok individu yang terikat dalam
ikatan suci yang sah, terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan merupakan tempat pertama
kali dalam menanamkan pendidikan pada anak.
2.2.2. Fungsi Keluarga
Kehidupan keluarga pada dasarnya
mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Merupakan pengalaman pertama bagi
masa kanak-kanak, pengalaman ini
merupakan faktor yang sangat penting bagi
perkembangan berikutnya,
khususnya dalam perkembangan pribadinya.
b. Pendidikan di llingkungan keluarga
dapat menjamin kehidupan emosional
anak untuk tumbuh dan berkembang.
c. Di dalam keluarga akan terbentuk
pendidikan moral.
d. Di dalam keluarga akan tumbuh sikap
tolong-menolong, tenggang rasa,
sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang
damai dan sejahtera.
e. Keluarga merupakan lembaga yang
memang berperan dalam meletakkan
dasar-dasar pendidikan agama.
f. Di dalam konteks membangun anak
sebagai makhluk individu diarahkan agar
anak dapat mengembangkan dan menolong
dirinya sendiri (Ihsan, 2005 : 18)
2.2.3.
Peran Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan
pendidikan yang pertama sangat penting dalam membentuk pola kepribadian anak.
Karena di dalam keluarga, anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma.
Peran orang tua dalam mendampingi
dan mendidik anak tidak terbatas sebagai orang tua. Sesekali orang tua perlu
berperan sebagai polisi yang selalu siap menegakkan keadilan dan kebenaran,
sesekali pula orang tua berperan sebagai guru yang dapat mendidik anak dengan
baik. Sewaktu-waktu berperan sebagai teman, orang tua perlu menciptakan dialog
yang sehat, tempat untuk mencurahkan isi hati. Alam psikologis orang tua harus
beralih kealam anak-anak, sehingga orang tua bisa merasakan, menghayati dan
mengerti kondisi anak-anak. Apabila dialog yang sehat ini dikembangkan,
anak-anak akan terbuka terbuka terhadap orang tua dan tidak akan segan-segan
mengutarakan isi pikirannya. Melalui dialog yang sehat ini orang tua dapat
memasukkan nilai-nilai yang positif terhadap anak. Orang tua dapat meluruskan
jalan pikiran anak yang keliru dengan leluasa (Amin, 2007 : 171-172). Peran
orang tua dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Peranan
ayah:
·
Sumber kekuasaan, dasar identifikasi yang memberikan
pendidikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan.
·
Penghubung dengan dunia luar yang memberikan pendidikan
komunikasi terhadap sesama kepada anak.
·
Pelindung terhadap ancaman dari luar, sehingga ayah
memberikan sikap bertanggungjawab dan waspada.
·
Pendidik segi rasional dengan memberikan pendidikan anaknya
dan menjadi dasar-dasar pengembangan daya nalar serta daya intelek, sehingga
menghasilkan kecerdasan intelektual.
b.
Peranan Ibu :
·
Pemberi aman dan sumber kasih yang memberikan pendidikan
sifat ramah
·
tamah, asah, asih, dan asuh kepada anaknya.
·
Tempat mencurahkan isi hati yang memberikan pendidikan
kepada anak
·
sikap keterusterangan dan terbuka serta tidak menyimpan
derita atau rasa
·
pribadi.
·
Pengatur kehidupan rumah tangga yang memberikan
keterampilan-
·
keterampilan khusus kepada anaknya.
·
Pembimbing kehidupan rumah tangga.
·
Pendidik segi emosional yang memberikan pendidikan kepekaan
daya rasa
·
dalam memandang sesuatu yang melahirkan kecerdasan emosional
(Mujib,
·
2008: 230).
·
Penyimpan tradisi.
2.2.4. Tanggungjawab
Orang Tua terhadap Anak
Islam memerintahkan agar para orang
tua berlaku sebagai kepala dan pemimpin dalam keluarganya serta berkewajiban
untuk memelihara keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah SWT :
”Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada
Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan” (Depag, 2007: 560).
Masa depan anak bergantung dari
bagaimana orang tua memberikan pendidikan kepadanya. Jika orang tua memberikakn
pendidikan yang baik bagi anaknya, maka akan baik pula masa depannya, demikiain
pula sebaliknya. Maka orang uta harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan
sebaik-baiknya.
Adapun tanggung jawab orang tua
terhadap anak menurut Daradjat (2009 : 38) adalah sebagai berikut :
·
Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang
paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan
alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
·
Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun
rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari
tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.
·
Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak
memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi
mungkin yang dapat dicapainya.
·
Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan
pandangan dan tujuan hidup manusia.
2.3.
Peranan Sekolah dalam
Pendidikan Moral dan Akhlak
2.3.1. Pengertian Pendidikan
Dalam
bahasa Indonesia kata pendidikan
merupakan kata jadian yang berasal dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang berarti proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang
dalam usaha mendewasakan manusia.
Pendidikan
merupakan proses mengubah keadaan anak didik dengan berbagai cara untuk
mempersiapkan masa depan yang baik baginya.Dalam bahasa Arab kata tarbiyah mempunyai
pengertian yang lebih luas dan lebih cocok dipakai untuk kata pendidikan dalam
bahasa Indonesia, karena terasa lebih luas cakupannya yakni bukan sekedar
memberikan ilmu pengetahuan dan membina akhlak tetapi mencakup segala aspek
pembinaan kepribadian anak didik secara utuh. Menurut Abdur Rahman al-Bani pendidikan memiliki 4 unsur yaitu :
·
Menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh)
·
Mengembangkan
seluruh potensi
·
Mengarahkan
seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan
·
Melaksanakannya
secara bertahap
Dari
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dalam
hal ini ialah pendidikan Islam meliputi unsur-unsur memelihara dan
mengembangkan potensi atau fitrah anak didik secara bertahap sesuai dengan
perkembangannya.
Menurut Abdullah yasin, Islam
mengutamakan 4 jenis pendidikan sebagai berikut :
· Pendidikan
Jasmani
· Pendidikan
Akal
· Pendidikan
akhlak
· Pendidikan
Kerohanian
Berdasarkan
pendapat yang dikemukakan di atas, maka pendidikan akhlak merupakan salah satu bagian
pendidikan dalam Islam yang sangat diperlukan agar anak memiliki akhlak yang
baik. Akhlak yang baik dari seorang anak akan melahirkan generasi yang baik
pula, yaitu generasi muda atau remaja yang taat kepada Allah, berbakti kepada
orang tua dan memperhatikan hak-hak bagi saudara muslim yang lain.
Secara
etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang
merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya‟qub, 1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah
etika dan moral. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak
jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan
pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali
mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada
pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27).
Imam
Al-Gazali (dalam Abudin Nata : 1996) mengemukakan bahwa akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan baik dan
buruk, dengan gampang dan mudah tanpa menimbulkan pemikiran dan pertimbangan.
Dalam
khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata
yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini
sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama, atau sopan
santun (Faisal Ismail, 1988: 178). Pada dasarnya secara konseptual kata moral dan etika mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan
perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan
buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis
sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis
sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka
Sa‟id, 1986: 23-24).
Secara
umum akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia dan akhlak tercela (buruk).
Akhlak mulia adalah yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sedang
akhlak tercela adalah akhlak yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Menurut Islam
ruang lingkup akhlak dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Tuhan
(Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluk (selain Allah Swt.). Akhlak terhadap
makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap
sesama manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan
dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati.
Untuk
menjadi manusia yang baik (berakhlak mulia), manusia berkewajiban menjaga
dirinya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin, tenang, selalu
menambah ilmu pengetahuan, membina disiplin diri, dan lain sebagainya. Setiap
orang juga harus menerapkan akhlak mulia dalam berbagai segi kehidupan. Akhlak
mulia harus ditanamkan dan dipraktekkan sejak dari kehidupan dalam rumah tangga
atau keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah atau pendidikan, dan lingkungan
kerja, serta dengan lingkungan alam pada umumnya.
2.3.2. Membangun Kultur Akhlaq di sekolah
Untuk
merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka pembudayaan
akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga
pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan
akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter.
Akhir-akhir
ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni
Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini
tampaknya belum dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia
seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan, setiap kelompok
mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing
kelompok mata pelajaran memengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta
didik (PP 19 2005 pasal 6 ayat 4). Pada pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/ Paket B, SMA/MA/ SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang
sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan,
kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan
kesehatan.
Akhlak
mulia di lingkungan sekolah atau pendidikan misalnya, harus tercermin dalam
praktik kehidupan sehari-hari semua warga sekolah yang meliputi karyawan, guru,
para siswa, dan kepala sekolah. Semua komponen sekolah, harus menghiasi dirinya
dengan akhlak yang mulia, seperti berlaku jujur, amanah, tanggungjwab, rasa
hormat, peduli, santun, lapang dada, toleran, tekun dan sabar. Dengan
menanamkan dan mempraktikkan sikap dan perilaku tersebut, maka pada waktunya
kelak akan terbangun kultur akhlak mulia di lingkungan sekolah.
Program-program
sekolah yang strategis untuk membangun kultur akhlak mulia telah dibuat secara
rinci melalui peraturan dan tata tertib sekolah. Tata tertib ini menjadi dasar
bagi para siswa dan selurus civitas sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan,
dan siapa pun) dalam beraktivitas sehari-hari di sekolah. Problem yang terjadi
adalah sebagian civitas sekolah baik guru, karyawan, maupun siswa terkadang
tidak mengetahui dan memahami visi dan misi sekolah, sehingga arah yang ingin 8
dicapai sekolah tidak diketahui secara pasti. Di sisi lain terkadang visi dan
misi sekolah hanya merupakan jargon atau slogan yang menjadi penghias sekolah
bagi masyarakat di luar sekolah. Akibatnya, sekolah sering berlindung di balik
visi dan misi sekolah saja, sementara ujud dari pengembangan kultur akhlak
mulia tidak pernah diupayakan untuk bisa terwujud di sekolah.
Sekolah
yang berhasil menerjemahkan visi dan misinya dalam program-program pengembangan
kultur yang nyata, ternyata lebih berhasil dalam membangun akhlak mulia.
Civitas akademika, seperti terlihat dalam sekolah-sekolah Islam semakin rinci
dalam program-program yang dibuat sekolah, semakin jelas akan hasil yang bisa
dilihat.
Harus
juga disadari bahwa membangun kultur sekolah memerlukan waktu yang relatif
lama. Budaya salam, senyum, sapa, jabat tangan, dan ucapan selamat harus selalu
diupayakan dan tidak hanya berhenti sampai batas waktu tertentu, tetapi sampai
tercapai kultur akhlak mulia yang dicita-citakan sekolah. Ketercapaian budaya
atau kultur akhlak mulia yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari
baik di sekolah maupun di luar sekolah yang disertai dengan nilai-nilai ibadah
tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat.
Untuk
terwujudnya kultur akhlak mulia di sekolah secara umum, perlu diperhatikan
hal-hal di bawah ini:
·
Sekolah sebaiknya
merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang mengarah pada pengembangan
kultur akhlak mulia di sekolah.
·
Diperlukan adanya persepsi
yang sama di antara civitas sekolah dan orang tua siswa serta masyarakat dalam
rangka mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
·
Untuk pengembangan akhlak
mulia di sekolah diperlukan juga kesadaran yang tinggi bagi seluruh civitas
sekolah untuk mewujudkannya.
·
Adanya komitmen yang tegas
dari kepala sekolah untuk mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah yang
dituangkan dalam kebijakan-kebijakan atau program-program yang jelas.
·
Adanya program-program dan
tata tertib sekolah yang tegas dan rinci serta mengarah pada pengembangan kultur
akhlak mulia di sekolah.
·
Adanya pembiasaan
nilai-nilai akhlak mulia dalam aktivitas sehari-hari di sekolah baik dalam
aspek keagamaan maupun aspek yang bersifat umum.
·
Adanya dukungan positif
dari semua pihak yang terkait dalam mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
·
Ada keteladanan dari para
guru (termasuk kepala sekolah) dan para karyawan sekolah.
·
Adanya sinergi antara tiga
pusat pendidikan, yakni pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal
(keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat) untuk mewujudkan kultur
akhlak mulia bagi para siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.
·
Perlu juga didukung adanya reward
and punishment yang mendukung terwujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
·
Membangun kultur akhlak
mulia membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkelanjutan.
BAB III
KESIMPULAN DAN
SARAN
Akhlak
bersinonim dengan moral dan etika dalam bahasa Indonesia. Namun bila dikaji
lebih dalam akhlak tidak sama persis dengan moral dan etika. Moral dan etika
berasal dari tradisi dan kebiasaan-kebiasaan dalam sebuah masyarakat, sedangkan
akhlak berasal dari terminologi Islam. Akhlak bersumber dari Al-qur’an dan
Assunnah. Akhlak mencakup sikap dan prilaku manusia terhadap Allah, sesama
manusia, dan lingkungan alam semesta.
Membina
atau mendidik manusia untuk memiliki moral dan akhlak yang baik berawal dari
pendidikan dan pembinaan di dalam keluarga. Keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak dan juga anggota-anggota yang lain seharusnya menerapkan prilaku
yang berdasarkan ajaran agama yang telah memberikan pedoman yang benar. Seorang
ayah atau ibu yang menginginkan anak-anak dan keturunan mereka memiliki moral
dan akhlak yang baik hendaknya juga mempraktekkan moral dan akhlak yang baik.
Baik dan buruknya prilaku anak-anak boleh dikatakan sebagai cerminan prilaku
orang tua mereka. Karena itulah orang tua harus benar-benar memahami
nilai-nilai moral dan akhlak yang diajarkan di dalam masyarakat dan juga agama
yang dianutnya. Sebagai muslim kita seharusnya juga mempraktekkan ajaran-ajaran
agama kita tentang sikap dan prilaku atau akhlak yang baik.
Sekolah
juga memiliki peranan yang amat penting di dalam membentuk karakter generasi
muda/peserta didik sehingga mereka memiliki moral dan akhlak yang baik. Setiap
elemen yang ada di sekolah, baik kepala sekolah, para guru, para pegawai
sekolah dan juga para peserta seharusnya menunjukkan dan mempraktekkan moral
dan akhlak yang baik. Kultur moral dan akhlak yang baik harus dimulai sejak
dini, sejak para siswa pertama kali menginjakkan kaki di sekolah. Para guru
hendaknya dapat memberikan pemahaman dan contoh prilaku yang berakhlakul
karimah kepada para peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ainain, Ali Khalil Abu. 1985. Falsafah
al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim. T.tp.: Dar al-Fikr al-„Arabiy.
Al-Bahi, Sayid Fuad. 1975. Asas
al-Nafsiyyah li al-Numuwwi min al-Thufulah wa al-Syuyuhah. Kairo: Dar
al-Fikr al-„Arabi.
Al-Maududi, Abul A‟la. 1984. Al-Khilafah wa
al-Mulk. Terj. Oleh Muhammad Al-Baqir. Bandung: Mizan. Al-Kutub
al-Tis’ah. CD Hadits.
Al-Qur’an al-Karim. Ary
Ginanjar Agustian. 2005. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Penerbit
Arga.
Astin, Alexander W. 1993. Assessment
for Excellent. American Council on Education: Oryx Press.
Borba, Michele. 2008. Membangun
Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. Terj.
oleh Lina Jusuf. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Pendidikan berbasis moral/Arif Zaenal
Mustopa-Academia.edu
konsep materi pendidikan akhlak anak didik dalam
perspektif islam
Penanaman nilai akhlak dan moral pada anak
Pendidikan berbasis moral dalam …
Pentingnya penanaman nilai akhlak dan moral pada
anak
Peran pendidikan keluarga dalam pembentukan akhlak
anak pada …
Akhlak. Moral dan etika dalam islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar